Dia Yang Bercahaya


images“Apa itu begitu menyilaukan”, teriak seorang sambil menunjuk kearah seberkas cahaya yang sayup-sayup mendekat. Setiap mata tertuju pada arah yg ditunjuk salah seorang itu. Ada yang tertegun, ada yang tersenyum gembira. Sayup-sayup sumber cahaya itu mendekat dan kian mendekat. Hingga terang hampir seluruh kampung, sesaat setiap orang mulai sadar bahwa kegelapan selama ini yang hampir sudah diyakini sebagai takdir ternyata bukanlah seperti yg dikira. Kemudian mereka saling tatap, untuk pertama kali setiap org bisa melihat wajah orang disebelahnya, mereka saling tatap dan saling menyapa. semua bersuka ria.

Untuk sekejap terlupakan sumber cahaya itu ditengah euforia perayaan. Diantara mereka ada yang mulai mendekat kepada sumber cahaya itu dengan rasa penasaran apakah gerangan. Berdiri disebelah cahaya seorang berbadan tegap sedang menggenggam lentera, yang wajahnya sulit dilihat karena terhalang kilau lenteranya.”Kisanak siapakah engkau”, tanya seseorang itu, dengan suara yang berat tapi mampu membuat suara angin dan riuh keramaian terhenti sang pembawa lentera menjawab,”aku datang mencari sahabat yang telah sekian lama menungguku” disambut dengan keheranan seluruh warga,” dia telah menyediakan lentera langkap dengan sumbu dan minyak, kini aku datang membawakan cahaya untuk sahabatku itu” jawab suara berat itu yang dilanjutkan rasa penasaran seluruh warga.

Tergopoh dari kejauhan seorang wanita paruh baya mendekat, “ah akhirnya engkau datang juga” sapanya, “mari lenteraku telah kutaruh didepan rumah, tak kusangkau engkau datang secepat ini, aku kira usiaku tak cukup untuk menunggumu, sengaja kutaruh lenteraku didepan rumah sehingga jika engkau lewat kau bisa mengenali lentera tanpa cahaya yg telah kutaruh itu”.

Seluruh kampung kini penuh dengan cahaya benderang, karena satu lentera telah ternyalakan, ada yg menyanyikan indahnya, ada yg bersujud syukur, ada pula yang mencela, “ah bikin silau saja, aku masih ingin beristirahat, ingin tidur, cahayamu mengganggu tidurku”, teriak sekelompok orang dari dalam gubuk mereka.

Setelah berpamitan dengan sahabatnya dan orang-orang kampung, sang pembawa cahaya melanjutkan perjalanannya, “kiranya cukup waktuku, aku akan melanjutkan perjalanan, jagalah baik-baik cahaya ini” demikian pesannya. Dari sekian mereka ada yang meneriakkan namanya, “mulialah sang cahaya” yang disambut riuh perayaan. ada yang mencium kakinya, ada yg menitikkan air mata terimakasih, tapi dikejauhan kerumunan ada pula yang mencibir”, aku juga bisa seperti dia, dasar orang kampung, penyembah berhala, sukanya berlebihan”.

Diantara kerumunan ada yg mengikuti langkah sang pembawa cahaya, “kawan, ijinkan aku mengikutimu, ingin tahu bagaimana engkau menemukan cahaya yang menghidupkan lentera itu”, sang cahaya menjawab, “perjalananku tak seindah bayanganmu”, orang tadi menjawab,”aku tak mencari keindahan, aku hanya ingin menjadi sahabatmu dalam perjalanan”, yang disambut anggukan. Dan demikianlah perjalanan dilanjutkan….

Kisah pun berlanjut, kelak sang sahabat ini akan bercerita bagaimana perjalanan sang cahaya dalam mengunjungi lentera-lentera sahabat lainnya didesa-desa sebelah. Dalam perjalanan itu banyak duri dan hewan buas yang menghadang. dalam sebuah catatan seorang sahabat menceritakan sang cahaya berhenti sejenak dibawah pohon yang rindang untuk menjacabut duri yang tertancap dikakinya, “duri memang tercipta untuk menusuk dan menyakiti, bagaimana kita melindungi diri dari tusukannya itulah yg penting”, suara berat sang cahaya bercerita. “Dan jika sudah tertusuk maka berhentilah sejenak saja, cabutlah dengan cara yang tepat, jangan mengeluh, tapi bertindaklah, cabutlah jangan menunda infeksi yg akan mengganggu dan menghambat perjalananmu” lanjut sang cahaya. Sahabat yg turut menemani perjalanan bukan hanya ikut berjalan tapi juga belajar pengalaman bagaimana sang cahaya mencabut duri dan menghadapi rintangan.

Bersambung…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *