Bali Makelar Tanah dan Saya


Bali

Sedang ramai diperbincangkan “Bali Syariah”, walau masalahnya sudah diselesaikan dengan musyawarah sebagaimana artikel di link ini (Beritasatu.com) namun wacana ini meninggalkan jejak dipikiran saya, banyak sekali orang yang punya ide “brilian” karena melihat seksinya Bali, seksinya dollar, euro, yen yang didatangkan Bali tepatnya.

Bali memang menarik, sampai dibom bukan hanya sekali tapi dua kali, difitnah berkali-kali sebagai pulau maksiat, ada orang menyewa hotel untuk resepsi pernikahan pasangan gay, yg disalahkan orang bali, masyarakatnya difitnah pernah melarang orang untuk berpakai tertentu, sampai-sampai yang ribut orang-orang jakarta, (termasuk teman-teman saya) yang ternyata salah informasi alias hoax yang disebarkan oleh orang-orang tukang fitnah tadi. (Catatan: organisasi resmi hindu Indonesia adalah PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia, organisasi ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan untuk melarang pakai tertentu di Bali)

Tapi saya tidak mau bercerita tentang itu, ada hal menarik lain. Beberapa waktu lalu saya sempat mengobrol dengan beberapa saudara jauh saya di kampung di Bali bagian utara, mereka ini bekerja sebagai apa saja termasuk makelar tanah, dari pengakuannya dan memang saya mengalami sendiri (ditawari untuk membeli tanah) banyak tanah-tanah produktif sekarang di Bali dijual dalam bentuk tanah kavling. Bagi saudara saya yang makelar itu ini merupakan lahan usaha. Tapi bagi saya ini memprihatinkan. Semakin tinggi kebutuhan akan lahan untuk perumahan akibat dari meningkatnya jumlah penduduk, dan juga semakin meninggkatnya kemampuan golongan menengah keatas untuk membeli tanah, serta berkurangnya orang yang mau menjadi petani, sehingga lahan-lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk pertanian kini sudah beralih menjadi bangunan.

Permasalahan menjadi semakin komplek ketika kita melihat konteks Bali, tentu kita tak akan bisa mempertahankan adat tradisi tanpa adanya lokasi tanpa adanya tanah. Sebagaimana Bali sekarang sedang gencar-gencarnya dibangun, dari rencana reklamasi yang saya tak setujui itu, sampai program penambahan bandara, dan rencana tol dan kereta api, Intinya Bali yang pulaunya hanya seluas 5,6 ribu meter persegi, yang dihuni 4 juta jiwa menurut proyeksi badan pusat statistik Bali di tahun 2014sekarang sedang bukan bergeliat lagi tapi menggelinjang karena dieksploitasi sedemikian rupa.

Kembali lagi dengan obrolan saudara saya tadi yang menceritakan keberhasilan menjual tanah dengan menjadi makelar yang pasti selalu harganya naik, sehingga dia pasti dapat untung, kemudian saya berpesan: “kalaupun harus menjadi perantara, kalau bisa carilah pembeli yang prioritasnya seperti ini, jika ada saudara dekat didahulukan, kemudian saudara satu desa, kemudian baru orang lain yang sama-sama orang Bali, orang yang faham hukum adat kita ‘menyama-braya’, walau untungnya sedikit tapi itu sangat berarti bagi Bali kita”. kemudian saudara saya menimpali, “bagaimana kalau begini, orang Bali-nya beli tapi kemudian dijual kepada orang lain? untuk dapet untung saja?”, saya tak bisa jawab pertanyaan saudara saya itu, kemudian saya hanya mampu menunjukkan gambar karikatur yg isinya orang Bali transmigrasi karena tanah dan rumahnya dijual.

Orang datang ke Bali Karena uniknya, satu-satunya didunia, Semoga kita bisa menjaganya, siapa pun yang datang ke Bali semoga bisa membawa kebaikan dan yang sedang dipercaya rakyat Bali untuk memerintah, mengatur jalan pemerintahan di Bali semoga bisa menjaga tanah leluhur kita.

*catatan ini dibikin setelah terima pesan singkat dari adik di Bali yang sedang mengurus sertifikat tanah yang dulu mendiang ayah saya dan saya beli.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *